Jumat, 16 Januari 2015

Bahaya Minuman Soda (Coke, Pepsi, Fanta dsb) Bagi Kesehatan

soda

Banyak orang, terutama anak-anak dan remaja suka minum soda atau minuman ringan yang berkarbonasi (carbonated soft drinks). Coca Cola, Pepsi Cola, Fanta, and Sprite adalah minuman yang amat populer. Tapi, tahukah mereka bahayanya bagi kesehatan mereka?
Menurut satu penelitian di Eropa, 1 minuman kaleng soda per hari bisa meningkatkan resiko penyakit diabetes / gula dan stroke.
Banyak iklan minuman soda di TV membuat orang yakin bahwa minuman tersebut tidak apa-apa. Keren dan tidak merusak kesehatan kita.
Banyak ahli yakin bahwa terlalu banyak fruktosa dalam minuman ringan bisa meningkatkan tekanan darah yang akhirnya menyebabkan jantung “terbakar” (heartburn). Soft Drink juga menyebabkan Sindrom Metabolik/Pencernaan, termasuk kombinasi gejala darah tinggi, kegemukan (obesitas), kolesterol tinggi, gagal ginjal, dan perlawanan insulin (insulin resistance).
Terlalu banyak mengkonsumsi Soda lonjakan gula darah dan insulin, yang dapat menyebabkan peradangan dan resistensi insulin, yang keduanya dapat meningkatkan risiko stroke, penyakit jantung, diabetes, obesitas dan kanker.
Dosis besar fruktosa dari kedua sukrosa (gula dapur) dan sirup jagung fruktosa tinggi mungkin sangat merugikan kesehatan Anda karena dapat menyebabkan akumulasimetabolik racun lemak perut metabolik, kelainan kolesterol – termasuk trigliserida tinggi dan menurunnya tingkat HDL (kolesterol baik) – dan penyakit hati berlemak yang berkaitan dengan nonalkohol.
Soda juga berhubungan dengan gejala penyakit refluks gastro-esofagus, ketika kebocoran isi perut kembali dan menyebabkan sensasi terbakar di kerongkongan. Sementara minum soda tidak diketahui menyebabkan bisul, hal ini dapat menyebabkan gejala memburuk.
Masih mau minum Soda?
Mati Coca Cola
Seorang ibu muda, Natasha Marie Harris (30 tahun) dari Selandia Baru, tewas karena kecanduan Coca Cola. Dia minum Coca Cola 10 liter sehari.
Berikut adalah apa yang ada di Soda Pop:
Asam fosfat: yang mengganggu kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium dan dapat menyebabkan osteoporosis, gigi berlubang dan pelunakan tulang. Asam fosfat juga berinteraksi dengan asam lambung, pencernaan melambat dan memblokir penyerapan gizi.
Gula: produsen minuman ringan adalah pengguna tunggal terbesar gula rafinasi di Amerika Serikat. Fakta membuktikan bahwa gula meningkatkan kadar insulin, yang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, diabetes, berat badan, penuaan dini dan banyak efek samping negatif. Kebanyakan soda mencakup lebih dari 100 persen dari RDA gula.
Aspartam: digunakan sebagai pengganti gula. Ini adalah gula buatan/kimia yang malah bisa lebih berbahaya. Aspartam berkaitan dengan hampir seratus masalah kesehatan yang berbeda seperti kejang, multiple sclerosis, tumor otak, diabetes, dan gangguan emosional. Ini berubah jadi metanol pada suhu hangat dan memecah metanol jadi formaldehida dan asam formik. Diet soda juga meningkatkan risiko sindrom metabolik, yang menyebabkan lemak perut, gula darah tinggi dan peningkatan kolesterol.
Kafein: minuman berkafein dapat menyebabkan kegelisahan, insomnia, tekanan darah tinggi, denyut jantung tidak teratur, kadar kolesterol darah meningkat, pengurangan vitamin dan mineral, benjolan payudara, cacat lahir, dan mungkin beberapa jenis kanker.
Here’s what’s in Soda Pop:
Phosphoric Acid: which interferes with the body’s ability to absorb calcium and can lead to osteoporosis, cavities and bone softening. Phosphoric Acid also interacts with stomach acid, slowing digestion and blocking nutrient absorption.
Sugar: Soft drink manufacturers are the largest single user of refined sugar in the United States. It is a proven fact that sugar increases insulin levels, which can lead to high blood pressure, high cholesterol, heart disease, diabetes, weight gain, premature aging and many more negative side effects. Most sodas include over 100 percent of the RDA of sugar.
Aspartame: is used as a substitute for sugar, and can actually be more harmful. It has been linked to almost a hundred different health problems including seizures, multiple sclerosis, brain tumors, diabetes, and emotional disorders. It converts to methanol at warm temperatures and methanol breaks down to formaldehyde and formic acid. Diet sodas also increase the risk of metabolic syndrome, which causes belly fat, high blood sugar and raised cholesterol.
Caffeine: Caffeinated drinks can cause jitters, insomnia, high blood pressure, irregular heartbeat, elevated blood cholesterol levels, vitamin and mineral depletion, breast lumps, birth defects, and perhaps some forms of cancer.

Rabu, 14 Januari 2015

Einstein, Matematika, dan Pendidikan (L Wilardjo)

DALAM dunia pewayangan, baik epos Ramayana maupun Mahabarata, Sang Hyang Batara Wisnu adalah dewa keadilan. Tugasnya menegakkan keadilan bagi seluruh ciptaan di jagat raya. Ini meliputi para dewa dan bidadari di kahyangan, segenap titah di marcapada, serta semua makhluk di kerajaan flora dan fauna. Tujuannya menghadirkan kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan, nyaris apa saja akan dilakukan Dewa Wisnu, termasuk mengobarkan perang Baratayuda yang menelan korban jiwa dan harta benda tak terbilang jumlahnya. Yang tidak dianut Batara Wisnu hanyalah adagium "Fiat justitia, ruat caelum", atau "Tegakkan keadilan, walaupun langit runtuh", sebab membiarkan langit runtuh berarti menghancurleburkan Bumi. Ini bertentangan dengan misi menegakkan keadilan demi memayu hayuning bawana. Einstein dan ketakpastian Kalau tugas dewa keadilan ialah membela dan menegakkan keadilan, maka tugas dewa ketakpastian ialah berpihak kepada ketakpastian. Benarkah Einstein dewa ketakpastian seperti dikatakan Radhar Panca Dahana (Kompas, 5/1/2015)? Tentu tidak! Einstein justru anti ketakpastian, sebab ia berpegang pada determinisme dalam ilmu. Ia yakin bahwa dengan Einfuehlung—kecintaan yang sangat mendalam kepada obyek penelitian—ilmuwan yang bekerja keras seperti dia akan sampai ke asas-asas semesta yang dapat dipakai untuk meramalkan apa yang akan terjadi dalam peristiwa fisika asalkan syarat-syarat awalnya diketahui. Prediksi itu akan ternyata kebenarannya secara pasti, secara deterministik. Keyakinan ilmiah itulah yang menyeret Einstein dalam sawala (debat) berkepanjangan dengan fisikawan Denmark, Niels Bohr. Einstein memang tidak menyukai matematika sehingga ia kelihatan bodoh di bidang ini. Ketidaktertarikannya pada matematika sudah dilihat gurunya ketika bersekolah di Muenchen, Jerman. Kelambanannya dalam disiplin yang amat ketat (rigorous) ini makin nyata saat ia belajar di Eidgenoessische Technische Hochschule (ETH), Sekolah Tinggi Teknologi Federal di Zurich, Swiss. Dosen matematikanya, Hermann Minkowski, menjulukinya "anjing pemalas". Setelah menjadi peneliti dan guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, ia masih memandang rendah asisten-asistennya yang mengerjakan perhitungan matematis untuk dia. Mereka disebutnya kuda-kuda penghitung (Rechnenpferde). Namun, Einstein membutuhkan matematika untuk menggarap penelitiannya di bidang fisika. Karena ia melakukan analogi retrosipatif dari segi ragam (modal aspect) fisika ke segi ragam keruangan (spatial), terpaksalah ia mempelajari geometri Riemann dan ruang Hilbert. Ketika ia kesulitan, ia minta bantuan Marcel Grossmann, sahabat di ETH yang jagoan matematika. Einstein sampai mengiba-iba ke Grossmann: "Tolonglah. Saya (hampir) gila. Ich bin verrueckt." Pada peringatan seabad Teori Relativitas (2005), Einstein "dinobatkan" sebagai "Scientist of the Century" (versi majalah Time). Dapatkah Einstein ke capaian setinggi itu tanpa matematika? Jelas tidak! Matematika barangkali memang bukan ratunya ilmu. Barangkali benar kata matematikawan Morris Kline bahwa matematika tak ubahnya "sawang yang mengambang, terombang-ambing diterpa angin". Namun, sains dan teknologi tidak akan semaju sekarang ini tanpa jasa matematika. Radhar P Dahana (RPD) sepertinya tidak pas membaca Karl Raymundo Popper. Terkesan di mata RPD, Karl Popper tampak sebagai filsuf yang anti deduksi dan anti konjektur. Padahal, justru fisikawan-cum-filsuf ilmu ini pro deduksi dan pro konjektur. Ia memang anti induksi—lebih tepatnya—anti induktivisme. Ini sama dengan Einstein, yang menyatakan bahwa "tidak ada lintasan logis (baca: logika induktif) yang membawa kita ke asas-asas semesta". Menurut Einstein, asas-asas semesta hanya dapat dicapai dengan Einfuehlung. Dan bila—dan jika—asas semesta itu sudah ditemukan melalui pembangunan teori berdasarkan postulat (yang sederhana), simpulan deduktifnya akan benar. Artinya, pasti sesuai dengan realitas. Seperti menggaungi Immanuel Kant, Popper membedakan "quid fakh" dari "quidjuris". Logika tidak untuk menemukan kebenaran faktual, tetapi untuk membenarkan ("menjustifikasi") kebenaran itu setelah ditemukan. Jelaslah bahwa Popper tidak anti logika deduktif. Popper dan konjektur Popper tidak meng-emoh-i konjektur, tetapi justru menganjurkannya. Teori tidak dibangun (atau dirajut, menurut paradigma Fritjof Capra – David Steindl-Rast) dengan induksi, tetapi dengan sejumlah konjektur. Konjektur (conjecture) ialah pernyataan yang tidak didukung dengan argumentasi. Jadi semacam dugaan atau hipotesis di dalam pikiran ilmuwan-peneliti. Kebenaran konklusi deduktif dari teori itu akan kukuh apabila upaya memfalsifikasi teori itu gagal.              Di harian ini, beberapa waktu lalu Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB (sekarang Atase Kebudayaan dan Pendidikan di KBRI New Delhi), menganjurkan agar pendidikan di Indonesia mengedepankan TRIMS. "M" dalam akronim ini ialah matematika. Ini sama dengan (dan: memang diambil dari) penekanan pendidikan di Amerika Serikat pada STEAM. Dalam akronim ini, "M"-nya juga matematika. Tak ada salahnya meniru kalau yang ditiru itu baik. Amerika adalah negara adidaya danSTEAM (Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics) baik bagi Amerika. TRIMS juga baik bagi pendidikan di Indonesia. Menurut saya, TRIM (Teknologi, Rekayasa, Ilmu, dan Matematika) adalah "empat sehat", yang dengan tambahan "S" (Seni) menjadi "lima sempurna". Orang boleh saja tidak menyukai matematika, seperti Einstein. Cita rasa memang tak dapat diperdebatkan. De gustibus non est disputandum. Namun, mengaitkan keketatan (rigor) disiplin ini dengan defisiensi pendidikan di Indonesia seperti mencari-cari kambing hitam. L Wilardjo Fisikawan

visitors

Flag Counter