Rabu, 17 Oktober 2018

JUAL KAMERA CANON EOS M10

Canon EOS M10
https://www.bukalapak.com/p/kamera/kamera-digital/qtktl2-jual-canon-eos-m10

Senin, 04 Desember 2017

Parent’s Quotes

Sering banget kita ngecewain mereka, tapi selalu dimaafkan 

3Kalau udah bikin orang tua marah, sering banget nih di celotehin gini. Duh, sedih
7
Kita kadang emang keras kepala, sampai-sampai orangtua jarang banget kita dengerin
8Ini sering nih, 
11Semakin kita dewasa, orangtua kita juga semakin tua
12

Kenapa Kamu Harus Mulai Berhenti Membenci Orang Lain dari Sekarang

Hidup ini singkat. Sekali memejamkan mata, bertambahlah umur kita. Pantaskah menghabiskannya untuk membenci orang lain?

Seberapa banyak waktu yang kamu gunakan untuk membicarakan orang yang kamu benci pada orang orang yang ada didekatmu? Menceritakan betapa jahatnya dia dan perlakuannya yang tidak menyenangkan hati. Setiap kali kamu dan teman temanmu makan bersama, kamu akan sering menceritakan tentang betapa menyebalkan saat kamu harus berpapasan dengan orang yang kamu benci.
Seringkali kebencian itu juga mengisi sela-sela lamunanmu. Terkadang kita sampai lupa untuk memperhatikan orang orang yang kita cintai karena terlalu sering menggerutu tentang orang yang kita benci. Perhatianmu juga akan terserap untuk mencari alasan bahwa dia memang pantas untuk dibenci. Tak jarang kamu mungkin juga sibuk stalking dia dan berharap dia terkena sial. Padahal, hidup itu terlalu singkat untuk membalas kebaikan orang-orang yang mencintai kita. Kenapa kita harus menghabiskan waktu untuk membenci orang lain

Hidup ini tentang mengembangkan sebanyak mungkin hubungan, bukan berfokus pada satu-dua orang

Ketenangan hidup
ketenangan hidup via www.publicdomainpictures.net
Setelah sekian lama menjalin persahabatan, ternyata baru-baru ini sahabatmu dan pacarmu kepergok jalan bareng. Tanpa kamu ketahui ternyata mereka sudah menjalin hubungan sejak lama. Ibaratnya kamu ditusuk dari belakang. Akhirnya kamu memutuskan untuk meninggalkan pacarmu dan sahabatmu. Sakit hati, benci, marah, dendam, sesal, semua campur aduk jadi satu. Memang menyakitkan.
Secara gak sadar, kamu juga kehilangan kesempatan untuk hidup damai. Kamu terus saja dibayang-bayangi kebencian itu. Lambat laun sesekali kamu merasakan trauma untuk menjalin hubungan, baik pacaran ataupun sahabat “kental”. Kamu takut kejadian masa lalu terulang lagi.
Padahal, siapa tahu ini adalah cara Tuhan untuk menyeleksi orang-orang yang baik untuk menemani di hidupmu. Percayalah, Tuhan pasti menyiapkan pengganti yang lebih baik. Kebahagiaanmu harus kamu bangun lagi, karena hidup adalah soal menjalani sebanyak mungkin hubungan — bukan hanya soal satu atau dua orang.

Masih banyak fase hidup di depan yang harus kamu lalui

Jalan hidup masih panjang
Jalan hidup masih panjang via www.magic4walls.com
Fase dalam hidup bukan hanya terdiri dari periode dimana kamu dan dia terlibat dalam hal yang kurang menyenangkan. Masih banyak fase yang harus kamu lalui di depanmu. Memaafkan adalah salah satu cara melepaskan diri dari fase yang kurang menyenangkan, karena jalan yang harus kamu lalui di depan masih panjang.
Setidaknya kalau kita bisa memaafkan, kenapa kita harus tetap membenci? Kalau kita bisa mentoleransi kesalahan orang lain, kenapa kita harus mendendam? Cobalah melupakan rasa sakitmu dengan menyibukkan diri pada hal-hal positif, dan berkumpul dengan orang yang yang mencintai kita. Kamu tidak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk mengurusi orang yang menyakitimu.
Ingatlah Semua orang itu mempunyai kebaikan
Kalau ngomongin soal Buddhisme terasa terlalu jauh dan susah dibayangkan, kita belajar dari komik Naruto saja. Kamu suka baca Naruto? Walaupun kadang dihina, disebut sebagai komik dengan cerita kekanak-kanakan dan ga tamat-tamat, Naruto itu memberi pelajaran yang sangat baik lho tentang empati dan saling memahami.
Bahasa gampangnya sih, sering kali orang yang sekilas terlihat jahat, ternyata setelah kita kenal lebih dekat, sebenarnya nggak jahat. Neji Hyuuga waktu pertama kali muncul kesannya sombong dan asshole sekali, tapi setelah kita paham tentang latar belakang keluarganya, kita jadi mengerti kenapa dia bersifat seperti itu. Itachi Uchiha di awal-awal digambarkan sebagai pengkhianat dan pembunuh berantai yang keji, tapi setelah kita tahu kenyataan masa lalunya, Itachi mungkin jadi karakter favorit kita.
Bahkan tokoh-tokoh penjahat betulan pun, seperti Danzo, Tobi, atau Madara Uchiha, yang menurut kompas moral umum memang pantas dicap jahat dan bodoh, semuanya punya alasan sendiri-sendiri. Orang-orang seperti mereka pun, sebenarnya punya tujuan akhir yang sama: ingin kehidupan yang lebih baik—baik sesuai versi mereka masing-masing.

Minggu, 26 November 2017

True story : ini cerita Tuhan shows his power to me

    Duduk di bangku kelas ‘12’ senior high school. Mengalami galau melanjutkan kuliah dimana. Which is one of thousands masalah gw disebabkan karena ‘financial’. menurut gw duit buat kuliah di indonesia terbilang mahal untuk swasta. Karena kualitas Perguruan tinggi negri yang you don’t have to ask me lah, gw berambisius belajar. Gw belajar online di salah satu website online berbayar, gw beli vouchernya, januari awal.
    Kesibukan anak klas 12 buat saya jadi susah belajar untuk SBMPTN alhasil gw belajar sbmptn, gila aja gw blajar SBMPTN februari tengah mepet. tiba hari sbmptn, oya pilihan gw salah satunya FMIPA ITB. Hari sebelom pengumuman gw isi dengan doa sampe jungkir balik. gw mimpi ketrima di ITB, gw ada firasat wah. Kemudian gw inget kalau Mimpi itu artinya berkebalikan. Bodo amat gw berdoa ayat andalan gw tiap ada un , juga tes yang penting itu matius yang berkata “mintalah kepadaku maka akan diberikan”. 
    Hari pengumuman tiba dan gw ga ketrima di PTN. you guys know what i feel, gw bener-bener berharap, karena satu satunya harapan gw kuliah ya cuma PTN. hari demi hari gw berasa ‘useless’ bangettt. Gw pun bangkit dan daftra kerja di bernofarm salah satu perusahaan farmasi terbesar di indonesia. Disaat gw putus asa kuliah karena gw bener2 gamau bebanin ortu segitunya. Alhasil gw kuliah di Atma Jaya Yogyakarta, seneng lah soalnya gw disitu mujizat. Kuliah disini enak kok kita dilatih banget bisa berbicara , jiwa pemimpin. Tapi hati gw tetep ke ITB/UI, gw fix-in buat coba tahun depan atau tahun 2018.
    Gw merasa berat kuliah disana, masalah biaya dan bilang ke mama gw “haduh mending ga usah kuliah ma, tahun depan aja, uang yang dibayar oktober udah keep aja.” tapi mama gw gamau begitu mama gw gamau nyerah emang best mom ever love you =* fyi aja bayaranya kalo gak salah 7 juta. gw brdoa ama tuhan tentang semua masalahnya. Detik inilah dia mengembalikan 7 juta ke gw. 
    Dengan caranya TUHAN YESUS mengadakan mujizatt dia emang ngembaliin uang gw dapett beasiswa dari atma jayaaaa. Gila loh swasta kan kalian tau sendiri lah ya, susah kan. apalagi pas gw liat daftarnya dari 2500 orang cuma ada 12 yang dikasih. Wow god beasiswa 4 tahun parahnya lagi ternyata sebagian uang dikembaliin yang udah dibayar, you’ve got me like “ wa waiittt, this is real ?”, “maybe salah orang kaliii”. ternyata gw suruh tanda tangan dan ups bener bener nama gw!. Dan duit yang udah dibayar yaitu 21 dikembaliin 7 juta, gila god you give me more than what i have asked to you!. Tuhan ngembaliin 7 juta dengan caranya. dan saudara gw juga dapet berkah dia ketrima di binus beasiswa 100% uang masuk, fyi aja kalian taulah ya beasiswa 100% itu almost mitos soalnya kan ini tes, bukan berarti ga bisa jalur rapot sodara gw, tapi beasiswa binus emang test dan sodara gw masuk tanpa biaya masuk yang senilai 28,000,000. fyi dia tes 2 kali yang pertama itu 25% karena katanya dari jogja ke jakarta dia ga belajar, di kereta juga susah ga tidur dan berangkat cuma 2 jam sebelom test. Beasiswa 100% tes ke 2 kenapa bisa lompat jauh ? karena yang ke 2 dia berdoa, dan BELAJAR. jadi buat kalian yang doanya belom terjawab just praying without ceasing. God will reply on his time and his way =)

short story : A Playboy’s diary

       “Cukup! Aku gak mau lagi denger apa – apa dari kamu. Cukup. Sampai di sini aja hubungan kita. Makasih!” Kata – kata itu benar – benar mengiritasi telingaku. Ah, segera kuabaikan. Dalam hatiku aku berkata, “Yup, sama – sama”
Di kalangan cewek sekolahku, aku mendapat predikat playboy. Suka gonta – ganti pasangan. Habis gimana lagi? Aku tipe orang yang mudah bosan. Aku bosan jika harus terpaku pada satu objek. Terlalu membosankan jika kita tak mencari alternative lain. Hidup ini dinamika. Hidup ini perubahan dan harus selalu berubah. Begitu juga dengan cewek. Aku perlu mencari cewek lain.
Bodohnya mereka adalah jika mereka sudah tahu bahwa aku playboy, mengapa mereka mau menerimaku? Kalau sudah tahu aku playboy, mengapa juga banyak yang mengejar aku? Hah, bodoh sekali mereka! Apa karena aku famous? Apa karena aku charming? Apa karena aku anak band? Apa karena aku OSIS? Atau karena aku ganteng? Hahaha aku geli sendiri ketika ada seseorang yang bilang aku ganteng.
Sebenarnya sih, mantanku cantik – cantik. Tetapi aku sudah bosan dengan mereka. Kebanyakan dari mereka cewek manja. Ada juga sih cewek matre yang minta dibayarin terus. Cewek yang suka memanfaatkan orang lain juga pernah jadi mantanku. Cewek tomboy yang arrogan. Cewek yang keliatan dari luar manis tetapi hatinya sepah. Cewek berkerudung yang munafik, kerudung hanya sebagai topeng dari tingkah laku yang liar. Kerudung hanya dikenakan ketika di sekolah, di luar sekolah kerudung dibuang dijadikan gombal. Aku pernah mendengar seseorang bertanya, “Giman ya kalo playboy ketemu playgirl?” Nah itu juga pernah kualami. Aku pernah berpacaran dengan playgirl.
Mereka semua busuk!!! Cantik, menarik dari luar. Tetapi bila dilihat ke dalam hati, hati mereka busuk bagai makanan yang ditumbuhi belatung. Kotor dan menjijikkan. Tingkah laku hamper semua mantanku tidak karuan. Bisa dibilang tidak punya etika.
Kebanyakan dari mantan – mantanku, setelah aku tahu sifatnya aku akan memutuskan mereka. Entah dengan cara apapun. Ada yang kujahilin sampai menangis, ada yang kufitnah, ada yang kusindir tentang penampilan, ada yang kubuat cemburu, intinya berbagai cara akan kulakukan supaya aku terlepas dari cengkraman nenek sihir.
Hobiku “php” in cewek. Aku suka banget. Entah mengapa, aku enjoy banget dengan apa yang aku lakukan. Meskipun aku tahu kalau itu bisa menyakitkan perasaan cewek dan itu tidak baik. Dosa juga sih sebenarnya. Tetapi dengan ”php” in cewek aku dapat feel puas. Karena kepuasan itu mahal dan tak dapat terbayarkan oleh apapun.
Biasanya sih kalau aku “php” aku sering melemparkan senyuman ke korbanku. Supaya mereka melting terus mengkhayal dan berandai – andai setinggi langit. Dan akhirnya broken heart… Hahaha =D
Pernah suatu hari aku sadar kalau aku seharusnya menjalin hubungan dengan cewek baik yang anggun, lemah lembut, bisa mengerti aku apa adanya, and of course bisa merubah sifat – sifatku yang jelek, bisa menuntun aku menjadi pribadi yang baik. Tetapi sayang, fikiran itu sering hilang seiring dengan sifatku yang mudah bosan.
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam berlalu. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Waktupun terus berjalan. Ada seorang gadis cupu yang gayanya engga’ banget. Aku males liat dia. Sudah pendek, coklat, gendut, stylenya seperti orang pondokan yang kamseupay, aneh, hidup lagi. Hmmh cewek seperti dia sudah dipastikan tidak lolos tahap verifikasi untuk menjadi pacarku. Jangankan pacar, calon “php” aja engga’. Kamse!
1 bulan kemudian aku melihat perubahan pada cewek kamse itu. Dia terlihat sedikit mengikuti mode. Tetapi menurutku biasa saja, karena sekali kamse tetap kamse. Aku tak respect. Mungkin dia berusaha tampil menarik, atau sedang ada cowok yang dia incar, atau mungkin berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan SMA yang berbeda atmosfir dengan lingkungan pondokan? Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan hal tidak penting semacam ini.
Keesokan harinya… Aiiih aku masih jomblo. Siapa ya yang mau denganku? Aku buka pendaftaran nih. Ternyata tidak enak ya jadi jomblo. Kemana – mana sendiri. Tak ada yang menemani, tak ada yang bisa dipamerkan ke teman – teman sebagai koleksi, bosan, tak bisa bermain hati, tidur tak ada yang menemani #uups bercanda# sepi, aku ingin jalan!
Pagi ini aku sekolah dengan tak bersemangat. Aku malas sekali. Hari – hari terasa hampa. Tak ada yang bisa dimainin. Aku malu pada teman – teman satu gank – ku. Aku merasa mulai tidak laku.. Hmmmh aku harus melakukan perubahan. Tetapi apa?
“Woooi bro, what’s up? Fine?” teriakan temanku mengagetkanku. Aku hanya diam. “Loh loh kok lesu kenapa bro? What’s wrong?” aku malas menjawab pertanyaan temanku. “Hei, share to me about your…” Aku memotong pembicaraan temanku, “Aissh, huh” “Hmmh, maybe u need a time for alone.., but don feeling alone.. I’m beside u. Call me if u need me. Okay?.” Lagi – lagi aku terdiam, begitu malasnya aku  menjawab pertanyaan temanku hingga aku tak mengeluarkan sepatah katapun. “Are u listen to me?” Aku hanya menatap mata temanku. “Alright bye. Have a nice dayJ” Temanku meninggalkanku di balkon sekolah. Aku ingin bolos hari ini. Rasanya tak ada passion untuk sekolah.
1, 2, 3 aku mengendap – ngendap menuju pintu gerbang sekolah dan berusaha untuk kabur. Satpam mencegatku dan menanyaiku. Aku berkata bahwa aku ingin mengambil barang di mobil yang tertinggal. Akhirnya, aku diperbolehkan keluar dengan catatan segera kembali supaya tidak terlambat karena pintu gerbang akan ditutup 2 menit lagi. Kata – kata itu tidak kupedulikan. Aku hanya mengangguk dan berusaha lari untuk menghilangkan jejak, kemudian menuju pusat perbelanjaan depan sekolahku.
Ketika aku berlari aku menabrak cewek. Kulihat ia dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan ternyata cewek itu adalah cewek kamse yang upay banget. “Hoi, gapunya mata ya? Liet – liet dong kalo jalan!” bentakku keras. “Maaf, aku gak sengaja. Maaf. Maaf.” Jawabnya. “Hah, gak sengaja? Payah banget sih! Liet pake mata. Matanya dimana?” sambungku. “Maaf, maaf. Aku minta maaf.” Jawabnya. “Maaf maaf. Ooh pantesan kerudungnya kurang naik mbak, mangkanya matanya ketutupan.. Hah payah!” Setelah kata – kata kasar yang kulontarkan, aku segera lari. Sebenarnya bukan maksudku untuk berkata seperti itu. Aku terbawa emosi. Ingin cepat – cepat kabur dari sekolah tanpa ketahuan ditambah aku tidak respect dengan cewek itu. Aku tau aku salah, dalam hatiku aku minta maaf padanya karena sesungguhnya aku yang lari tidak lihat – lihat kalau ada orang. Akhirnya aku menabraknya dan menjatuhkan buku – bukunya.
Setelah sampai di mall, aku cepat – cepat menuju parkiran untuk melepas seragam karena aku dobelan baju. Seusai melepas seragam, aku masuk mall dengan gembira. Aku merasa benar – benar cuci mata. Segar sekali. Cewek cewek sexy memakai hot pant, chinese – chinese yang membuka kerah leher hingga terlihat ________. Hehe :p. setelah berkeliling – keliling mall. Kakiku terasa capai. Wajar saja aku berkeliling selama 6 jam. Tak terasa lama, karena aku melakukan hal yang kusukai. Setelah capai aku pulang ke rumah.
Keesokan harinya kuulangi hal yang sama. Aku berangkat sekolah memakai seragam, kemudian kabur ke mall. Begitu seterusnya sampai seminggu. Setelah seminggu, aku dicegat oleh bundaku. Bundaku mendapat telpon dari wali kelasku. Aku ditanyai kemana aku selama ini  dan aku tak bisa menjawab. Bundaku mengira aku pergi ke warnet untuk bermain game online. Aku hanya mengangguk. Padahal sebenarnya aku tidak suka bermain game.
Setelah dimarahi dan diceramahi orang serumah. Di siang yang terik aku berangkat ke sekolah untuk meminta maaf pada wali kelas dan berjanji untuk tidak mengulangi kenakalanku lagi. Tetapi aku tak tulus karena itu hanya basa – basi.
Waktu berjalan. Tak terasa aku sudah kelas 11. Dan aku masih jomblo. Belum ada huntingan yang cocok. Aku memilih jurusan IPA meskipun aku tak tahu aku bisa menjalaninya atau tidak. Aku terpaksa masuk IPA karena orangtuaku memaksaku. Wajar saja. Karena orangtuaku berambisi untuk menjadikan aku dokter. Padahal aku sama sekali tidak minat menjadi dokter
Kuhitung selama 2 tahun di SMA aku sudah 8 kali berpacaran. Aku ingin pacaran lagi. Gatal rasanya tak mempunyai cewek. Dan 4 hari setelah aku berniat untuk pacaran, aku langsung mendapat pacar. Hmmh pacarku yang satu ini manis, stylish lagi, penampilannya selalu berubah dan itu membuatku tak bosan. Tak seperti cewek kamseupay itu.
7 bulan berjalan, aku mulai bosan. Ini waktu pacaranku terlama dari sebelum – sebelumnya. Aku mulai melirik cewek lain. Aku ingin ganti pacar. Cewekku ini overprotective dan selalu ingin diperhatikan. Aku tahu dia menyayangiku. Tetapi tidak begitu juga caranya. Dia terlalu overprotective dan itu membuatku malas.
Keesokan harinya cewekku kuputus. Dia menangis. Aku tahu itu menyakitkan. Tetapi mau bagaimana lagi? Kalau tetap dipertahankan dia juga yang kasihan. Karena aku sudah bosan dan dia tak kuperhatikan. Kemudian aku memacari sahabatnya. Itu pasti sakit baginya. Dia sempat terlibat perdebatan yang sengit dengan sahabatnya. Hah, bukan urusanku.
Baru 2 minggu berpacaran. Aku sudah mengetahui seluk beluknya. Terlalu norak dan berlebihan. Dan aku memutuskan hubungan dengannya untuk mencari objek lain. Akhirnya aku mendapat kakak kelas yang tenar satu sekolah. Dia dancer. Tinggi, cantik, baik, sexy, molek. Sudah mau lulus, tetapi aku bersyukur bisa pacaran dengan kakak kelas ini, karena 23 cowok yang pernah menembak hanya aku yang diterima. Kakak kelas ini baru pertama kali pacaran dan aku pacar pertamanya. Ternyata, sebelum aku mengenal kakak ini, dia sudah menyukaiku.
Baru seminggu berjalan, aku ketahuan bundaku kalau berpacaran. Aku dimarahi habis – habisan. Aku tidak boleh pacaran. Kata bundaku jika aku tetap pacaran maka aku akan langsung dinikahkan. Huh, menyebalkan sekali. Dasar orangtua tak mengerti anak muda jaman sekarang! Orangtua tidak toleran! Tidak mau mendengarkan anak! Mengapa ketika aku pacaran yang dulu – dulu tidak pernah ketauan? Dan kini giliran mendapat pacar perfect yang menyayangiku dan aku menyayanginya malah ketahuan. Aku benci sekali!! Aku benci bunda! Bunda menelfon kakak kelasku dan memutuskan hubungan dengan kakak kelasku. Maaf kak!!!
Keesokan harinya aku menemui kakak kelasku untuk meminta maaf. Aku meminta untuk tetap melanjutkan hubungan. Dan aku mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya. Baru kali ini aku tulus. Tetapi kakak kelasku hanya tersenyum. Seperti tak terjadi masalah. Dia menolak, dia setuju dengan ibuku. Ya Allah, apa yang dikatakan ibuku hingga membuat kakak ini setuju untuk mengakhiri hubungan?
Ketika di rumah seusai pulang sekolah, aku mendengar berita yang tak mengenakkan. Karena sedih, kakak kelasku berusaha menghilangkan kesedihannya dengan balapan motor. Ia mengalami kecelakaan. Paha kanannya patah. Dan itu tak bisa membuatnya berkarir lagi. Tidak bisa dance lagi. Maaf kak. Gara – gara aku masa depanmu susah. Maaf kak. Hanya kata maaf yang bisa kuucapkan. Maaf kak, aku menyesal.
Kejadian ini memberiku pelajaran bahwa tak seharusnya aku memainkan perasaan wanita. Sekuat dan setegar apapun wanita terlihat, ia tetap memiliki  perasaan  yang sangat lembut yang membutuhkan kasih sayang. Jika terluka, dia akan kehilangan kontrol emosi dan melakukan apapun asal membuatnya kembali lagi.
Hari – hariku diliputi rasa bersalah dan penyesalan. Tak akan kuulangi lagi kegemaranku mempermainkan perasaan wanita. Aku ingin taubat. Aku tak ingin lagi menjadi playboy, aku ingin menjadi prayboy.
Masalah cewek yang kuhina – hina kamseupay. Dalam hatiku aku minta maaf. Tidak seharusnya aku berkata – kata kasar. Semoga kau mendengarnya. Maaf aku tidak gentle. Tidak seharusnya pula aku menilai seseorang hanya dari fisik. Maaf!
Setelah kejadian itu pula aku berusaha keras untuk menjadi prayboy. Aku menjaga setiap pandanganku dari perempuan. Aku tak ingin melakukan kesalahan lagi. Aku tak berniat untuk pacaran. Aku tak ingin menyakiti perasaan perempuan.
Aku yakin, suatu saat nanti jika sudah datang waktunya. Allah akan mengirimku wanita yang  sesuai denganku untuk menjadi teman sekaligus kekasih hatiku. Dan aku berjanji, ketika waktu itu datang aku akan setia padanya untuk selamanya.
Aku tak ingin mengulang kegagalan rumah tangga orang tuaku. Aku ingin menjadi imam yang baik. Aku ingin menjadi orangtua yang baik untuk anak – anakku. Cukup sampai pada orangtuaku yang gagal. Aku ingin memangkas generasi yang tidak baik. Aku harus memulai generasi yang baik.
Ketika ada upacara bendera, siswa – siswi yang berprestasi dipanggil ke depan. Aku melihat cewek yang kuhina – hina itu maju ke depan. Dia memenangkan lomba konseling antar SMA se – Indonesia. Minggu berikutnya aku melihatnya dipanggil ke depan lapangan, kali ini dia memenangkan kejuaraan volley. Aku tak menyangka cewek pondokan bisa bermain volley. Minggu berikutnya ia maju ke depan lagi. Ia mendapat juara 1 olimpiade astronomi tingkat provinsi. Wah keren sekali. Selama 3 minggu berturut – urut dipanggil karena mendapat juara. Minggu ke 4 aku tak melihat ia dipanggil. Tetapi aku melihatnya ke depan dan berbaris menghadap pohon. Setelah itu barulah kutahu bahwa dia terlambat. Hah, lucu sekali. Setelah dipanggil karena prestasi. Kini dipanggil karena poin.
Seusai pulang sekolah, aku melihat ada segerombol murid – murid yang berdesakan masuk ke Ruang Aula. Aku penasaran. Apakah itu kumpul OSIS atau apa. Aku ingin masuk. Sebelum itu aku bertanya pada salah satu murid. Dan ia menjelaskan bahwa ada tanya jawab masalah konseling seputar lomba yang kemarin menang. Siapapun boleh bergabung. Setelah itu aku mengerti apa sebabnya murid – murid berdesakan ingin masuk. Aku pun juga berminat untuk mengikuti.
Setelah masuk aula aku kegerahan. Sempit dan panas sekali. Tetapi meskipun panas, audience tetap bersemangat untuk melanjutkan tanya jawab. Aku tak bisa melihat siapa pembicaranya. Setelah ada anak depanku yang meninggalkan tempat barulah aku bisa sedikit bergerak bebas. Aku bisa melihat pembicaranya. Dan ternyata pembicaranya adalah cewek yang aku hina – hina kamseupay.
Cewek yang kuhina – hina ternyata dia memiliki segudang prestasi yang membuat siapa saja kagum termasuk aku. Sementara aku? Apa prestasiku selama ini? Aku hanya bisa mengkoleksi cewek dan mempermainkannya sebagai boneka. Aku tersindir oleh perkataanya. “Playboy menjadikan perempuan sebagai boneka yang bisa dimainkan sesuka hatinya. Sementara cowok sejati tidak suka main boneka.” Hmmmh playboy adalah aku yang dulu. Tetapi sekarang dari kejadian itu aku sadar jika selama ini aku salah. Pengalamanlah yang menjadi guruku. Selain itu, kata – kata konselingnya juga memotivasiku untuk berprestasi. Mendadak, banyak murid yang tertarik mengikuti ekstrakurikuler konseling. Padahal sebelumnya ekstrakurikuler konseling peminatnya hanya 3. Tetapi setelah cewek ini menang se – Indonesia, jadi banyak yang tertarik mengikuti ekstrakurikuler ini.
Lama – lama aku makin tertarik dengan gadis ini. Penampilannya memang biasa saja. Tetapi dia pintar. Aku memang tak ingin pacaran. Tetapi aku hanya ingin berteman dengan dia. Mungkin saja dia bisa membantuku menyelesaikan masalah – masalahku. Atau mungkin dia bisa jadi penyemangatku. Aku mencoba mencari – cari informasi tentangnya.
Aku berusaha bertanya – tanya pada teman – temanku. Tetapi tak ada yang mengerti. Yah, benar. Aku berteman dengan teman – teman yang tidak karuan. Aku berteman yang tidak selektif. Dan giliran aku bertanya ke anak kelas lain aku malah diledekin suka.
Kurasa percuma saja aku bertanya, lebih baik aku berkenalan langsung. Dengan begitu kita akan mengenal satu sama lain. Seharian aku mencarinya, tetapi aku tak menemukannya. Kucoba untuk mengakhiri pencarian.
Seusai pulang sekolah aku pergi les. Ketika sampai di tempat les – lesan aku melihatnya. Aku ingin berkenalan dan menyapanya tetapi entah mengapa ada sesuatu yang menahanku untuk tidak melakukannya. Aneh sekali.
Aku masuk ke ruang les. Dia dibelakangku. Oh tidak. Jangan – jangan aku sekelas dengannya. Tetapi sebelumnya aku tak pernah melihatnya. Lalu? Heeem, ternyata aku salah sangka. Dia mengambil kursi diluar. Dia mengikuti tambahan. Keingintahuanku semakin menjadi. Aku ingin mengetahui siapa namanya. Akhirnya aku keluar daru kelas dan mengikuti tambahan dengannya. Tentor menanyaiku asal sekolah dan aku menyebutkan. Ia pun demikian. Lalu tentor bertanya “Kalian satu sekolah?” kami berdua menjawab serempak, ”Iya” tentor menanyakan apakah kami sudah saling kenal. Lalu ia menoleh ke arahku dengan ekspresi datar. Ehm, apakah dia sudah lupa denganku? Seseorang yang pernah mengata – ngatainya? Ehm, mungkin dia tidak menghafal mukaku. Sudahlah tak apa.
Aku mengambil kertas absen setelah ia menuliskan namanya. Haha sepertinya sedikit cocok. Fildzah Aini Firdaus dengan Fritzky Indra Devian.. sama – sama 3 kata. Sama – sama berawalan F. dan nama kamipun diawali huruf F. Fildzah dan Fritky.
Selama les dia aktif bertanya dan menjawab. Kelihatannya dia anak yang pintar. Dan parahnya, aku tidak sambung dengan pelajarannya. Aku tak tahu materi yang dipelajari. Aku minta ia mengajariku karena tentor sudah angkat tangan.
Hmmh, betapa lemotnya aku. Betapa tertinggalnya aku sering bolos sekolah. Akhirnya akupun pura – pura faham. Kurasa aku harus belajar ekstra supaya dapat mengejar ketertinggalanku. Kurasa fokus ke studi memang tak ada salahnya. Oke mulai saat ini aku berniat untuk fokus ke studi. Aku tak memikirkan pacaran. Sekolah bukan untuk mencari pacar, tetapi menimba ilmu sebanyak – banyaknya agar menjadi orang yang bermanfaat.
Hari – hari kujalani dengan penuh kesadaran untuk menjadi cowok prayboy. Aku ingin rajin fokusku ke pendidikan. Anehnya, aku ada rasa dengan cewek kamse itu. Hmmh dia tak cantik tetapi mengapa aku suka? Apa karena kepintarannya? Entahlah. Aku juga melihat perubahan yang signifikan pada dirinya. 2 tahun di SMA dia terlihat lebih stylish, kulitnya tampak cerah, tambah tinggi. Padahal awal aku melihatnya dia terlihat kamseupay. Sekarang lebih menarik. Memang, perempuan memang cepat sekali berubah.
Mencintai seseorang tidak melihat dari kesempurnaan fisik tetapi lihat dari kesungguhan hati. Aku termakan oleh omonganku sendiri. Gadis yang tadi tak kulirik dan kuremehkan. Kini kukejar. Bagai seekor ulat jelek kini ia telah berubah menjadi kupu – kupu yang cantik. Aku terpesona olehnya. Mungkinkah dia gadis yang kudambakan dari dulu? Gadis saleh yang anggun dalam bertingkah dan bertutur kata. Gadis yang bisa merubahku menjadi pribadi yang baik.
“Tetapi sampai kapan aku menangung getaran cinta ini?” Aiiih lagu kerispatih ini benar – benar menyindirku. Aku terpesona dengan seorang gadis berkerudung itu. Dan ini bukan pandangan pertama. Apa dia ku “php” in aja ya? Tidak! Aku sudah berjanji menjadi prayboy. Aku sudah mengubur sifatku yang playboy. Aku tak ingin memanggilnya cewek lagi. Karena itu tidak sopan Meskipun itu dalam hati.
Gadis ini terlihat polos, tetapi pintar. Langganan juara olimpiade. Stylenya sekarang anggun. Subhanallah apa ini yang dinamakan cinta? Entahlah. Minggu depan aku latihan gladi bersih wisuda kelas XII. Aku terpilih menjadi perwakilan OSIS.
Seminggu kemudian… Latihan gladi bersih dan aku melihat Fildzah. Hmmh mungkin dia perwakilan siswa berprestasi.aku ingin menyapanya. Tetapi entah mengapa lagi – lagi ada sesuatu yang menghalang – halangiku untuk menyapanya. Aku hanya sekali berinteraksi dengannya, hanya ketika tambahan. Kutunda untuk menyapanya. Mungkin lain kali ada waktu yang tepat untuk menyapanya.
Waktu wisuda kelas XII akhirnya tiba. Benar dugaanku. Dia adalah perwakilan dari siswa berprestasi. Wahhh, keren sekali. Anehnya, selain maju sebagai siswa berprestasi dia juga maju ke panggung sebagai lulusan. Baru kusadari bahwa dia anak aksel. Pantas saja aku tidak sambung pelajaran yang ia terangkan pada waktu itu.  Ketika acara selesai aku mencarinya dan berusaha sedapat apapun mengutarakan perasaanku padanya. Aku tidak ingin menembak dan menjadikannya pacarku. Aku tak ingin pacaran. Aku tak ingin menyakiti perasaan perempuan lagi. Aku hanya ingin aku jujur terhadap perasaanku selama ini. Akhirnya aku menemukannya. Aku mencoba mengikutinya sampai pintu gerbang. Namun semua terlambat. Dia sudah masuk ke mobil. Aku tak sempat mengutarakan perasaanku padanya. Aku menyesal. Aku mencoba melupakan semua tentangnya.
Setahun berjalan. Aku bisa melupakannya. Memang semua itu butuh proses. Melupakan seseorang juga butuh proses. Aku yakin bahwa perasaanku terhadap perempuan selama ini hanyalah cinta monyet. Aku mencoba fokus ke pendidikan. Aku mencoba untuk berprestasi.aku ingin menyenangkan orangtuaku terutama bundaku yang selama ini sering aku kecewakan. Aku ingin sepenuh hati masuk IPA dan menjadi dokter. Semangat dan kerja keras kulakukan setiap hari. Dan ternyata jika ada kemauan pasti ada jalan. Akhirnya aku bisa masuk Fakultas Kedokteran.
Ternyata SMA bukan pertemuanku yang terkahir dengan Fildzah Aku menemuinya lagi. Dia menjadi kakak tingkatku. Ternyata dia mengambil jurusan kedokteran. Entah mengapa aku senang sekali. Perasaaan yang dulu sudah kukubur sekarang tumbuh lagi. Bahkan berlipat. Aku berhasrat untuk memilikinya. Apapun caranya. Aku jadi lebih bersemangat untuk menjadi dokter.
Waktupun terus berjalan. Ini  tahun ke 4 aku kuliah, semester depan aku koas. Sepertinya dia sudah lupa denganku. Atau memang sejak awal dia tidak mengenalku. Hanya satu kali aku pernah berbincang dengannya. Mungkin ia lupa denganku. Hmmh aku jadi merasa tak dianggap.
Yang kubutuhkan sekarang adalah gadis muslimah yang mencintaiku apa adanya dan rela menjadi pendamping hidupku untuk selamnya. Jika gadis itu Fildzah aku takkan menolaknya. Jika bukan juga tidak apa – apa. Ya Allah kabulkanlah doaku.Engkau tak harus mengabulkannya sekarang! Engkau bisa memberikannya tahun depan atau beberapa tahun lagi padaku. Amiin J. Aku semakin sadar bahwa perempuan baik – baik akan mendapat laki – laki yang baik. Sebaiknya laki – laki yang tak baik juga akan mendapat perempuan yang tak baik.
Setelah satu tahun 8 bulan koas kini aku semakin yakin untuk memilikinya. Tidak lagi menjadikan pacar tetapi menikahinya. Keinginanku semakin mantap. Apalagi aku tahu kalau dia belum ada yang punya.


Keesokan harinya aku pergi untuk menemuinya. Aku mengatakan semuanya. Aku menceritakan bahwa aku adalah teman SMA nya. Dan aku tak menyangka dia masih ingat aku. Dia mengingatku sebagai teman yang pernah ikut les bareng. Aku senang sekali dia masih ingat. Tetapi semoga saja ia tak ingat dengan kata – kataku yang kasar sewaktu aku menabraknya. Aku mengutarakan perasaaanku dan pertanyaan yang hanya dibalas dengan simbol yang tak kuketahui maksudnya yang masih mengganjal dihatiku adalah ketika aku bertanya, ”I love u deep ini my heart. I love u more than else. If I wanna marry u, do  u want to receive it?” Fildzah hanya tersenyum. Aku semakin bingung. Aku juga menambahkan, “Jika engkau menerimaku maka engkau adalah pelabuhan hatiku yang terakhir ” Dan ia membalas dengan tersenyum. Aku tak tahu apa artinya senyuman itu.

Kamis, 01 Juni 2017

There's no GOD , Hawking couldnt ever answer this statement

Ketika sampai pada topik tentang keberadaan Tuhan, Alkitab mengatakan bahwa ada banyak orang yang telah melihat bukti yang cukup tetapi mereka mendiamkan kebenaran Tuhan.1Di sisi yang lain Tuhan mengatakan kepada mereka yang ingin mencariNya, "apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku.2 Sebelum saudara melihat fakta mengenai keberadaan Tuhan, tanyakan pada dirimu sendiri, Jika Tuhan ada, akankah saya ingin mengenalNya? Berikut ini beberapa alasan untuk dipertimbangkan....

1. Apakah Tuhan ada? Kerumitan dunia kita menunjukkan bahwa ada seorang Perancang yang tidak hanya menciptakan alam semesta kita, tetapi juga menopangnya sampai hari ini.

Banyak contoh yang menunjukan rancangan Tuhan yang tiada akhirnya. Beberapa diantaranya:
Bumi... ukurannya sangat sempurna. Ukuran Bumi dan gaya gravitasi bersesuaian menjaga suatu lapisan yang tipis yang benyak mengandung gas nitrogen dan oksigen, yang hanya berjarak sekitar 50 mil di atas permukaan Bumi. Jika Bumi lebih kecil, maka atmosfer tidak akan terbentuk, seperti planet Merkurius. Jika Bumi lebih besar maka atmosfernya akan mengandung hydrogen bebas seperti Yupiter.3 Bumi adalah satu-satunya planet yang dikenal yang diselimuti oleh suatu atmosfer yang terdiri dari campuran gas untuk menunjang kehidupan tumbuhan, binatang dan manusia.
Kedudukan Bumi berada pada jarak yang sesuai dari matahari yang suhunya berubah-ubah antara -30 derajat sampai +120 derajat. Jika jarak bumi jauh dari matahari, kita semua akan membeku. Jika jaraknya lebih dekat maka kita akan terbakar. Bahkan mungkin tidak akan ada kehidupan di atas bumi jika pada posisi Bumi dan matahari hanya berbeda tipis. Bumi berada pada kedudukan yang tepat dari matahari ketika berotasi mengelilingi matahari pada kecepatan hampir 67.000 mph. IBumi juga berputar pada porosnya dan membuat seluruh permukaannya menjadi panas dan dingin setiap hari.
Bulan juga memiliki jarak dan ukuran yang tepat dari bumi untuk tarikan gravitasinya. Bulan menciptakan pergerakan dan pasang surut air laut sehingga air laut tidak berhenti, tetapi akan mengalir diantara benua-benua.4
Air... tidak berwarna, tidak berbau dan tidak memiliki rasa, dan tidak ada makhluk yang dapat bertahan hidup tanpa air. Tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia banyak mengandung air (kira-kira dua pertiga tubuh manusia terdiri dari air). Anda akan memahami mengapa air memiliki karakteristik yang unik untuk kehidupan:
Air memiliki titik didih dan titik beku yang tinggi. Air membuat kita dapat hidup dalam lingkungan yang suhunya berubah-ubah dan menjaga suhu tubuh kita tetap stabil 98,6 derajat.
Air adalah suatu bahan pelarut yang universal. Sifat air mengandung ribuan bahan-kimia, mineral dan nutrisi yang dapat dibawa ke seluruh tubuh kita dan ke dalam kandungan darah yang paling kecil.5
Secara kimiawi air juga bersifat netral. Tanpa mempengaruhi struktur dari unsur yang di bawanya, air memungkinkan makanan, obat-obatan dan mineral dapat diserap dan digunakan oleh tubuh.
Air memiliki suatu tekanan permukaan yang unik. Oleh karena itu air di dalam tumbuhan dapat mengalir keatas melawan gaya gravitasi bumi, membawa air dan nutrisi ke bagian pohon yang paling tinggi.
Air membeku di bagian atas dan mengapung sehingga ikan dapat hidup di musim dingin.
Sembilan puluh tujuh persen air di Bumi berupa lautan. Tetapi ada suatu sistem di Bumi kita yang dirancang untuk memindahkan garam dari air dan kemudian mendistribusikan air itu seluruh belahan dunia. Penguapan mengambil air laut, meninggalkan garam, dan membentuk awan yang mudah dipindahkan oleh angin untuk mencurahkan air di atas daratan, untuk tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Ini merupakan suatu sistem pemurnian dan persediaan yang menopang kehidupan diatas planet ini, suatu sistem yang digunakan kembali dan didaur ulang.6
Otak manusia... pada saat yang bersamaaan memproses sejumlah informasi yang luar biasa banyaknya.. Otak saudara dapat menangkap semua object dan warna yang saudara lihat, suhu di sekitarmu, tekanan kakimu terhadap lantai, suara di sekitarmu, kekeringan mulutmu, bahkan permukaan papan tombolmu. Otak saudara menjaga dan memproses semua emosi, pikiran dan ingatan saudara. Pada saat yang bersamaan otak saudara terus menjaga fungsi yang berkelanjutan terhadap tubuh saudara seperti pola bernafas saudara, pergerakan kelopak mata, rasa lapar dan pergerakan otot di tangan saudara.
Otak manusia memproses lebih dari satu juta pesan dalam satu detik.7 Otak saudara menimbang pentingnya semua data ini, menyaring keluar yang tidak penting. Fubgsi ini akan membuat saudara memusatkan dan beroperasi secara efektif di dunia saudara. Satu otak akan menerima lebih dari satu juta informasi tiap detik, dan mengevaluasi pentingnya informasi tersebut dan membiarkan saudara untuk melakukan informasi yang paling penting...Apakah itu diakibatkan oleh kesempatan? Apakah karena penyebab biologis, yang dengan sempurna membentuk suatu jaringan yang benar, aliran darah, neurons, struktur? Fungsi otak berbeda dengan organ-organ lainnya. Ada suatu kecerdasan didalamnya, kemampuan untuk memberi alasan, untuk menghasilkan perasaan, untuk bermimpi dan merencanakan sesuatu, untuk mengambil tindakan dan berhubungan dengan orang lain.
Mata... dapat berbeda dengan tujuh juta warna. Mata memiliki focus yang otomatis dan menangani 1,5 juta pesan yang mengejutkan - dengan serempak.8 Evolusi berpusat pada mutasi dan perubahan dari dan di dalam organisme yang ada. Bahkan evolusi itu sendiri tidak secara penuh menjelaskan sumber awal dari mata atau otak - awal dari organisme yang hidup adalah dari benda mati.

2. Apakah Tuhan ada? Alam semesta memiliki sebuah awal - apa yang menyebabkannya?

Para ilmuwan diyakinkan bahwa alam semesta kita di awali dengan satu ledakan energi dan cahaya yang dahsyat, yang sekarang kita sebut sebagai Big Bang. Ini menjadi awal yang tunggal terhadap segala sesuatu yang ada: asalmula alam semesta, asal mula langit, dan bahkan asal mula waktu itu sendiri.
Ahli astrofisika Robert Jastrow, seorang agnotis, menyatakan, "Benih dari segala sesuatu yang telah terjadi di alam semesta ini ditanam di dalam saat-saat pertama itu; setiap bintang, setiap planet dan setiap makhluk hidup di alam semesta menjadi nyata sebagai hasil peristiwa yang di tata dalam pergerakan pada saat terjadi ledakan kosmis tersebut... Alam semesta bercahaya kepada makhluk hidup, dan kita tidak dapat menemukan apa yang menyebabkannya terjadi."9
Steven Weinberg, peraih Nobel dalam ilmu fisika, berkata tentang ledakan ini, "alam semesta adalah sekitar seratus ribu juta dengan skala seratus derajat...dan alam semesta dipenuhi dengan cahaya."10
Alam semesta tidak selalu ada, tapi memiliki.sebuah awal...apa yang menyebabkannya? Para ilmuwan tidak memiliki penjelasan tentang ledakan cahaya dan materi yang terjadi tiba-tiba tersebut.

3. Apakah Tuhan ada? Alam semesta bekerja dengan hukum alam yang seragam. Mengapa demikian?

Banyak hidup tampak tidak pasti, tapi lihat apa yang dapat kita harapkan dari hari ke hari: gaya berat tetap, secangkir kopi panas yang ditinggalkan di atas sebuah meja akan menjadi dingin, bumi berotasi dalam 24 jam yang sama, dan kecepatan cahaya tidak berubah -- di atas bumi atau di dalam galaksi yang jauh dari kita.
Bagaimana kita dapat mengidentifikasi hukum alam yang tidak pernahberubah? Mengapa alam semesta sangat rapi dan dapat dipercaya?
"Para ilmuwan terbesar telah diserang dengan sesuatu yang aneh ini. Tidak ada kebutuhan yang masuk akal untuk alam semesta yang mematuhi aturan, biarkan hal itu sendiri yang mentaati aturan-aturan matematika. Keheranan datang dari pengenalan bahwa alam semesta tidak harus bertindak seperti ini. Mudah untuk membayangkan suatu alam semesta di mana kondisinya berubah tidak terduga dari saat ke saat, atau bahkan suatu alam semesta di mana banyak benda yang meletus keluar dan masuk dari suatu keberadaan."12
Richard Feynman, pemenang Hadiah Nobel untuk elektrodinamika kuantum, mengatakan, "Mengapa alam ini matematis merupakan suatu misteri...Fakta bahwa sama sekali ada aturan adalah semacam keajaiban."13

4. Apakah Tuhan ada? Kode DNA menginformasikan dan memprogram kebiasaan sel.

Semua perintah, pengajaran, pelatihan dilakukan dengan suatu tujuan. Seseorang yang menulis sebuah buku petunjuk, juga melakukannya dengan suatu tujuan. Apakah saudara tahu bahwa di setiap sel dalam tubuh kita ada suatu kode perintah yang sangat terperinci, seperti sebuah program komputer miniatur? Seperti yang saudara tahu, sebuah program komputer terdiri dari yang angka nol dan satu, seperti ini: 110010101011000. Cara mereka diatur memerintahkan kepada program komputer apa yang harus dilakukan. Kode DNA di setiap sel kita sangat mirip. Kode tersebut terdiri dari empat bahan kimia disingkat oleh para ilmuwan sebagai, A, T, G, dan C. Kode-kode tersebut diatur di dalam sel manusia seperti ini: CGTGTGACTCGCTCCTGAT dan seterusnya. Ada tiga milyar huruf ini di dalam setiap sel manusia!!
Baik, seperti ketika saudara dapat memprogram telepon saudara untuk memiliki tanda bunyi sebagai alas an khusus, DNA menginstruksikan sel. DNA adalah suatu program tiga juta huruf yang memerintahkan sel untuk bertindak dengan cara tertentu. Ini merupakan suatu instruksi penuh yang manual.14
Mengapa ini sangat mengagumkan? Setiap orang harus bertanya....bagaimana program informasi ini berputar di dalam setiap sel manusia? Ini bukan hanya sekedar sesuatu yang bersifat kimiawi. Ini adalah sesuatu yang kimiawi yang menginstruksikan kode tersebut dalam suatu cara yang sangat terperinci, tepatnya bagaimana tubuh setiap orang harus berkembang.
Alam, penyebab biologi sepenuhnya kurang sebagai suatu penjelasan ketika informasi yang terprogram dilibatkan. Saudara tidak dapat menemukan suatu perintah, informasi yang tepat seperti ini, tanpa seseorang yang dengan sengaja membangunnya.

5. Apakah Tuhan ada? Kita tahu Tuhan ada karena Dia mencari kita. Dia terus menerus memulai dan mencari kita agar datang kepadaNya.

Dulunya saya seorang atheis. Dan seperti kebanyakan orang atheis, soal orang yang mempercayai Tuhan sangat mengganggu saya. Yang dipermasalahkan adalah bahwa mengenai orang atheis, kami menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan energi untuk menyangkal sesuatu yang bahkan tidak kami percaya itu ada! Apa yang membuat kami melakukannya? Ketika saya menjadi seorang atheis, perhatian saya adalah untuk orang-orang malang dan pengkhayal tersebut... Jujur saja, saya juga memiliki tujuan lain. Ketika saya menantang sesorang yang mempercayai Tuhan, saya juga sangat curiga jika mereka malahan dapat meyakinkan saya. Sebagian pencarian saya adalah terbebas dari pertanyaan tentang Tuhan. Jika saya dapat dengan yakin membuktikan kepada para pemercaya bahwa mereka salah, setelah itu masalahnya akan hilang dari hidup saya dan saya akan bebas untuk melanjutkan hidup saya.
Saya tidak menyadari bahwa alasan dan topik tentang Tuhan membebani pikiran saya dengan berat, karena Tuhan sedang menekankan persoalan ini. Saya telah mencoba mencari tahu bahwa Tuhan ingin diketahui. Dia menciptakan kita dengan tujuan bahwa kita akan mengenal Dia. Dia telah melingkupi kita dengan bukti berupa diriNya sendiri dan Dia membatasi pertanyaan tentang keberadaanNya di depan kita. Sepertinya saya tidak dapat melepaskan pemikiran tentang kemungkinan mengenai Tuhan. Kenyataannya, di hari saya memilih untuk mengakui keberadaan Tuhan, doa saya dimulai dengan, "Baiklah, Engkau yang menang..." Mungkin saja alasan dasar kaum atheis merasa terganggu dengan orang yang mempercayai Tuhan karena Tuhan secara aktif mencari mereka.
Saya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Malcolm Muggeridge, seorang sosialis dan penulis tulisan filsafat, menulis, "Saya memiliki dugaan bahwa bagaimanapun juga, selain mempertanyakan, saya sedang dicari" C.S.Lewis mengatakan bahwa dia teringat, "...malam demi malam, merasakan kapanpun pikiran saya terangkat bahkan untuk satu detik dari pekerjaan saya, pendekatan terus menerus dan tak mengenal lelah dariNya yang sangat saya rindukan seakan tak terpenuhi. Saya mengalah, dan mengakui bahwa Tuhan adalah Tuhan, lalu berlutut dan berdoa: mungkin, malam itu, petobat yang paling malas dan enggan di seluruh Inggris.
Lewis kemudian menulis suatu buku berjudul "Surprised by Joy" sebagai suatu hasil dari pengenalan akan Tuhan. Saya juga tidak memiliki harapan-harapan lain selain mengakui keberadaan Tuhan dengan benar. Beberapa bulan kemudian, saya terpesona dengan cintaNya pada saya.

6. Apakah Tuhan ada? Tidak seperti pewahyuan lain dari Tuhan, Yesus Kristus adalah yang paling jelas, gambaran paling lengkap dari pencarian Tuhan akan kita.

Mengapa Yesus? Lihatlah sepanjang agama-agama besar dunia dan Saudara akan menjumpai bahwa Buddha, Muhammad, Konfusius dan Musa mengidentifikasikan diri mereka sebagai guru atau nabi. Tidak ada satupun dari mereka yang pernah mengklaim diri sama dengan Tuhan. Secara mengejutkan, Yesus melakukannya. Itulah yang membuat Yesus berbeda dari yang lainnya. Dia mengatakan bahwa Tuhan ada ada dan Saudara sedang melihatNya melalui Dia. Walaupun Dia berkata tentang BapaNya yanga da di Surga, itu bukanlah posisi yang berbeda, namun penyatuan yang sangat dekat dan unik kepada semua umat manusia. Yesus berkata bahwa barangsiapa yang melihat Dia telah melihat Bapa, barangsiapa percaya kepadaNya, percaya kepada Bapa.
Dia berkata: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup."15 Dia mengklaim beberapa hal yang hanya dimiliki oleh Tuhan: mampu mengampuni orang-orang akan dosa-dosa mereka, membebaskan mereka dari kebiasaan-kebiasaan dosa, memberi hidup berkelimpahan dan memberi kehidupan kekal di Surga. Tidak seperti guru-guru lain yang membuat orang-orang terpusat pada kata-kata mereka, Yesus mengarahkan orang kepada diriNya. Dia tidak berkata, "ikuti kata-kataku dan saudara akan menemukan kebenaran." Dia berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."16
Bukti apa yang diberikan Yesus untu mengklaim sebagai Tuhan? Dia melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang. Dia membuat banyak mujizat. Dia menyembuhkan orang buta, lumpuh, tuli, bahkan membangkitkan sejumlah orang dari kematian. Dia memiliki kekuatan atas benda-benda...menciptakan makanan dari udara, cukup untuk memberi makan ribuan orang. Dia membuat mujizat atas alam...berjalan di atas permukaan air danau, menghentikan badai yang sedang mengamuk demi beberapa orang teman. Orang-orang dari berbagai penjuru mengikuti Yesus, karena Dia terus memberikan apa yang mereka butuhkan, membuat banyak mujizat. Dia berkata: "Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri."17
Yesus Krists menunjukkan Tuhan yang lemah lembut, penuh kasih, sadar akan keegoisan dan kekurangan-kekurangan kita, juga sangat menginginkan suatu hubungan dengan kita. Yesus berkata bahwa walaupun Tuhan melihat kita sebagai orang-orang berdosa, kasihNya pada kita berkuasa dan Tuhan datang dengan rencana yang lain. Tuhan sendiri mengambil rupa seorang manusia dan menerima hukuman karena dosa-dosa kita demi kita. Terdengar lucu? Mungkin saja, namun banyak ayah yang penuh kasih akan dengan sukarela bertukar tempat dengan anak mereka di bangsal penanganan penyakit kanker jika mereka bisa. Alkitab berkata bahwa alas an kita mengashi Tuhan adalah karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita.
Yesus mati bagi kita sehingga kita dapat diampuni. Dari semua pengetahuan keagamaan yang dikenal untuk kemanusiaan, hanya melalui Yesus saja Saudara akan menyaksikan Tuhan yang menjangkau kemanusiawian, menyediakan suatu jalan bagi kita untuk memiliki hubungan denganNya. Yesus membuktikan suatu hati Tuhan yang penuh kasih, memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita, membawa kita pada diriNya sendiri. Karena kematian dan kebangkitan Yesus, Dia menawarkan suatu hidup baru pada kita. Kita dapat diampuni, diterima sepenuhnya dan dikasihi dengan kasih yang sejati oleh Tuhan. Dia berkata, "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu."18 Inilah Tuhan, dalam perbuatanNya.
Apakah Tuhan itu ada? Jika saudara ingin tahu, selidikilah Yesus Kristus. Kepada kita dikatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."19
Tuhan tidak memaksa kita percaya padaNya, walaupun Dia sebenarnya bisa. Sebaliknya, Dia telah menyediakan bukti keberadaanNya yang cukup untuk kita agar bersedia meresponNya. Jarak bumi yang sempurna dari matahari, sifat kimia unik dari air, otak manusia, DNA, sejumlah orang yang membuktikan pengenalan akan Tuhan, getaran dalam hati dan pikiran kita untuk menentukan bahwa Tuhan ada, kesediaan Tuhan untuk dikenal melalui Yesus Kristus. Jika saudara ingin tahu lebih lanjut tentang Yesus dan alasan-alasan untuk percaya kepadaNya, lihatlah Melampaui Iman yang Buta.

Sabtu, 27 Mei 2017

Did god exist?

Do you find it difficult to believe in God or accept the claims of Christianity? I did, when I was an atheist, but I changed my mind, and my reasons for doing so may be of interest to you in your own personal journey and attempts to make sense of life. (from: https://www.bethinking.org/is-christianity-true/from-atheism-to-christianity-a-personal-journey)
I am a freelance writer and lecturer. Since graduating from Oxford in 1973, with a degree in politics and philosophy, I have spent most of my professional life in politics and journalism, loving, as I do, the world of books, ideas and debate. Two questions in particular have always interested me. Is there a God? And, if there is, what is the connection between God and freedom?
Growing up in a non-Christian family with intellectually gifted but unbelieving parents, I used to think that belief in God and the supernatural had been discredited by the advance of science, and was incompatible with liberty. Religious faith seemed to me to involve the blind worship of a cosmic dictator, and the abandonment of reason in favour of ‘revelation’. Why, in any case, should I take religion seriously, I thought, when the existence of evil and suffering clearly discredited the Christian claim that our world owed its existence to a benevolent Creator?
religious faith seemed to me to involve the blind worship of a cosmic dictator
My scepticism and hostility towards Christianity, which developed in my teens under the influence of thinkers like Ayn Rand and Bertrand Russell, grew even stronger while I was at Oxford. Then, at the age of 24, I met my future wife, who turned out to be a Christian. Shocked by the discovery that this highly intelligent and beautiful woman was ‘one of them’, I determined to find out whether there was any good evidence for the existence of God and the truthfulness of Christianity, making it quite clear from the outset, however, that I was not prepared to become a believer just to cement our relationship!
I started to read C.S. Lewis, whose Chronicles of Narnia I had enjoyed as a child. I did so for three reasons. First because he had himself been an atheist, and might therefore be able to answer my many questions and objections. Secondly, because I respected his intellect. Here was a man who had graduated from Oxford with Triple First Class Honours in Classics, Philosophy and English, and had then become one of the greatest British academics of his generation. If he could have made the journey from atheism to Christianity, perhaps I was mistaken in thinking that you had to bury your brain in order to believe in God. Furthermore, and this was my third reason for studying his writings, you couldn’t accuse C.S. Lewis of being glib or shallow about suffering. Having lost his mother at the age of 10, been unhappy at school, and then gone on to experience the horrors of trench warfare during the First World War, he was obviously only too aware of the problem of evil. His discussion of these issues would surely, I thought, be illuminating.
This proved indeed to be the case. As I read Lewis’s three most important books, Mere Christianity, Miracles and The Problem of Pain, I found myself not only following in the footsteps of a person who had wrestled with all the issues that were troubling me; I was also discovering intelligent and convincing answers to all my doubts.

Illuminating Insights about the Problem of Evil

Since my own father had died when I was only 17, I found what Lewis had to say about the problem of evil particularly pertinent. As he rightly points out, we cannot complain about the existence of evil and suffering, and use that as an argument against the existence and goodness of God, unless we first believe that the standard of right and wrong by which we judge and condemn our world is an objective one. Our sense of justice and fairness has to be a true insight into reality, before we can we be justified in getting angry and indignant about all the pain and injustice we see around us. But if this is the case, what explains the existence within us of this inner moral code or compass? According to atheism, human beings and all their thinking processes are simply the accidental by-products of the mindless movement of atoms within an undesigned, random, and purposeless universe. How then can we attach any ultimate meaning or truth to our thoughts and feelings, including our sense of justice? They have, on this view, no more validity or significance than the sound of the wind in the trees.
But if, on the other hand, we refuse to accept this conclusion, insisting, for example, that it is always and objectively true that you should love your neighbour and you shouldn’t torture children, we are led away from atheism. The presence within us of an objective moral law ‘written on our hearts’ points instead to the existence of an eternal Goodness and Intelligence which created us and our universe, enables us to think, and is the eternal source of our best and deepest values. In other words, Lewis argues, atheism cuts its own throat philosophically, because it discredits all human reasoning, including the arguments for atheism.
If the whole universe has no meaning, we should never have found out that it has no meaning: just as, if there were no light in the universe and therefore no creatures with eyes, we should never know it was dark. Dark would be a word without meaning.
(Mere Christianity)
Only by acknowledging that there is a God, he concludes, can we hope to make sense of human existence, the world we inhabit, and, paradoxically, the problem of evil.
But if God is goodness personified and therefore, as our Creator, the divine source of all that is good, true and beautiful, why is there so much evil and suffering? What has gone wrong? The Christian answer to that question, Lewis argues, is that our world has been damaged by rebellion against God. An originally good creation has been spoiled.
If you find this hard to believe, consider the evidence. Look at all the many examples there are of benevolent and intricate design in Nature: the nest-building instincts of birds, the incredibly complex structure of the human brain, the navigational systems of bats and whales, the biological software of DNA in every cell of our bodies, sexual reproduction, etc. All this exists side by side with harmful viruses, disease and death. Can its obvious implications be ignored? Consider, too, the significance of the fact that human beings possess an inner moral code they cannot get rid of yet seem unable to obey. Does all this not suggest some process of deterioration from hopeful beginnings? Is it not also significant that many ancient peoples and cultures, including the Chinese, have some tradition of a lost Paradise in the dim and distant past?

A Convincing Explanation of the Origin of Evil

Speaking for myself, I find this evidence convincing, but what has really persuaded me of the truthfulness of the Christian explanation of the origin of evil and suffering, is its inherent philosophical credibility. As C.S. Lewis points out, true love is a voluntary union of free individuals giving themselves to each other for their mutual delight and for the mutual enjoyment of life and all its blessings. Consequently, when God created the first human beings, He gave them the gift of free will. He did so in order that they and all their descendants might share His life, His love, His joy and His beauty, with Him and with each other. As part of this gift of free will, God also gave human beings creativity and intelligence in order that they might be good stewards of the world in which he had placed them, sharing its joys and adding to its wonders and beauty. But the problem with free will is that it can be corrupted and misused. Our inner freedom to relate to God and other people in harmony and love, can be turned on its head. We can choose, instead, to reject our Creator and live only for ourselves. And that, sadly, is what has happened to the human race. It is what lies behind the famous biblical story of the ‘Fall of Man’ in the Garden of Eden: our ancestors disobeyed God, with deadly consequences for themselves and posterity.
a creature rebelling against its Creator, Lewis argues, is like a plant refusing to grow towards the sunlight
For the reasons I have already mentioned, I have no doubt that the ‘Fall of Man’ was a real historical event, but what gives the whole story its ‘ring of truth’ is its totally convincing picture of the disastrous consequences of turning away from God. A creature rebelling against its Creator, Lewis argues, is like a plant refusing to grow towards the sunlight. It results in a broken relationship which separates that creature from the eternal source of all life, love, truth and well-being, including its own. It was therefore inevitable that when the human race separated itself from God through that original act of disobedience long ago, hatred, disease and death came into the world. Some creationist scientists and theologians believe that the ‘Fall of Man’ damaged the whole of God’s originally perfect creation (as described in the book of Genesis), introducing death and disorder into the animal kingdom and the natural world. Others argue that even before the ‘Fall of Man’ the natural environment had already been damaged by rebellion against God in the angelic realm. But whatever you may think about all this, one thing seems crystal clear and made perfect sense to me: separation from our Creator is inevitably self-destructive.
It is inevitably self-destructive not only because it results in death, but also because it is destructive of freedom. Apart from God, we lack the inner strength to resist the downward pull of our fallen natures. Without His help, we cannot overcome all the temptations we face to give in to our lowest impulses and pursue our own interests at the expense of others. And if, in addition, this diminution of our inner freedom is accompanied, as in so many lives, by positive disbelief in God, a new danger arises. We lose our sense of accountability and belief in moral absolutes because we no longer believe that there is a Divine Judge to whom we are ultimately responsible. That is one of the reasons why militantly atheistic socialist regimes have produced the bloodiest tyrannies in history, slaughtering 100 million people in internal repression during the 20th century. It also helps to explain the growth of crime, delinquency and sexual immorality in post-Christian secularised Western societies.
If the human race has cut itself off from God through sin, what has been God’s response? Has he abandoned us, and all His creation, to corruption and death? On the contrary. The whole of the rest of the Bible after the third chapter of Genesis describes God’s rescue plan. And at the heart of that rescue plan is the greatest and most extraordinary event in history: the incredible but true story of God coming down into our world to live and walk among us as a human being – as a first century Jewish carpenter from Nazareth, called Jesus.
you could only believe such stories, I thought, if you were scientifically illiterate
Before I started reading C.S. Lewis, I dismissed this whole idea as an absurd fable. Even if Jesus had really existed, how could one believe that he had performed all those miracles recorded of Him in the New Testament? Hadn’t the advance of science revealed that our universe is a beautifully ordered cosmos governed by physical laws which cannot be broken, but which can be described in the precise language of mathematics? Didn’t the laws of physics and chemistry rule out the possibility of a man walking on water or rising from the dead, as Jesus was said to have done? And how could one believe that Jesus had once turned several jars of water into wine at a wedding feast, or fed five thousand people with only five loaves of bread and two fish? You could only believe such stories, I thought, if you were scientifically illiterate, as everyone clearly was in ancient times. Furthermore, I asked myself, how on earth could Jesus’ death on a Roman cross ‘save’ us from our sins and reconcile us to God? No-one had ever explained this mystery to me!

Re-examining My Objections to the Supernatural and Miracles

Once again, however, Lewis’s writings forced me to re-examine my objections to Christianity and the historical claims about Jesus on which it is based. As he points out in his brilliant book, Miracles, you cannot rule out the supernatural on scientific grounds without first begging the question of God’s existence. Atheism denies the supernatural by definition, but if atheism is false and God exists, who is to say that God is not able to intervene in His creation? If a human author can change the ending of one of her plays or novels at the stroke of a keyboard, then surely the Creator in whose image we are made can alter the natural environment, reverse the progression of a disease, or conquer death in ways we consider ‘miraculous’.
if atheism is false and God exists, who is to say that God is not able to intervene in His creation?
In any case, argues Lewis, the whole idea that it is somehow unscientific to believe in God and therefore in the possibility of miracles, is both historically and philosophically mistaken. Modern science owes its very origin to monotheistic religion. To quote Lewis:
Men became scientific because they expected law in nature and they expected law in nature because they believed in a lawgiver. (Miracles)
That is why most of the great founding fathers of modern science believed in God and were Christians who took the Bible seriously. To mention just a few of them and the scientific disciplines they helped to establish, they include: Galileo and Kepler (astronomy), Pascal (hydrostatics), Boyle (chemistry), Newton (calculus), Linnaeus (systematic biology), Faraday (electromagnetics), Cuvier (comparative anatomy), Kelvin (thermodynamics), Lister (antiseptic surgery), and Mendel (genetics). All these men believed in an ordered universe and in the possibility of discovering how it functioned because they were convinced that the evidence of intelligent design in Nature indicated the existence of an Intelligent Creator. As Kepler put it, writing in the 17th century:
The chief aim of all investigations of the external world should be to discover the rational order which has been imposed on it by God, and which he revealed to us in the language of mathematics.
Lewis not only persuaded me that there is no reason to disbelieve in miracles and the supernatural on scientific grounds; he also pointed out the absurdity of attributing all belief in miracles to ignorance of the natural laws revealed by science. Jesus’ contemporaries in first century Palestine may have lacked the knowledge of modern physicists, but they were perfectly well aware that His virgin birth or His instantaneous healing of lepers were events which went against the normal course of nature, otherwise they would never have regarded them as miracles. Joseph, as we are told in Matthew’s Gospel, was resolved to break off his engagement to Mary precisely because he knew as well as you and I do that women don’t usually become pregnant without first having had sex with a man! Similarly, as we are told in John’s Gospel, ‘Doubting Thomas’ refused at first to believe the report of the other disciples that Jesus had risen from the grave, since he knew as well as any modern atheist that the victims of a Roman crucifixion did not normally return from the dead. It is therefore irrational to dismiss all reports of miracles as the unreliable testimony of credulous witnesses. You must examine the evidence for them with an open mind.
rather than fairy tales, we are confronted with something much more rational and believable
If, responding to this challenge, we look with an open mind at the accounts in the New Testament of the miracles of Jesus, Lewis argues, we are brought face to face with an interesting and significant fact. Instead of finding there the stuff of fairy tales – talking animals or frogs turning into princes – we are confronted with something much more rational and believable. What we see in most of Jesus’ miracles is what God does in the natural world, as its Creator, but localised and speeded up. Thus every year, for example, tiny seedlings of grain created by God grow into vast harvest fields of wheat and thousands of loaves of bread. The same process of multiplication took place in Jesus’ feeding of the five thousand, but localised and speeded up. Similarly, God is always turning water into wine by the action of sunlight and rain on the fruit of the vine, and by the involvement of human beings in all the stages of winemaking. At the wedding feast in Cana (recorded in John’s Gospel), Jesus, as God the Creator incarnate, also turns water into wine, but here again the conversion process is localised and speeded up.
Exactly the same parallels apply to Jesus’ miracles of healing. Human beings created by God are constantly recovering from illnesses and diseases through the medical stimulation of their bodies’ God-given immune systems. So when Jesus healed lepers with a touch of His hand or a word of command, we again see God the Healer at work, but localised and speeded up, as man to man in ancient Palestine. In other words, says Lewis, the purpose of Jesus’ miracles was not just to show God’s love for humanity but to reveal to the people around Him (and to us) the presence among them of their Creator and Saviour.
In addition to convincing me of the inherent reasonableness of the New Testament record of Jesus’ miracles, Lewis’s writings also helped me to understand why the Christian concept of God as a union of three persons within one Godhead (the ‘Trinity’) made sense, and why ‘God the Son’, the second person of that ‘Trinity’, had to come down into our world as Jesus, to ‘die for our sins’ and conquer death on our behalf.
Christianity involves a mystery about God
which goes
beyond human understanding but not against it
As Lewis explains in his most readable book, Mere Christianity, God is Love personified since, as our Creator, He is the divine source and origin of all human (and animal) love. But since love involves relationships between people, we should not be altogether surprised to discover that God in His own Being is a loving union of three distinct persons – described in the New Testament as ‘Father’, ‘Son’, and ‘Holy Spirit’. It is of course true that this revelation may at first appear startling and strange, but it does not seem unreasonable once you think about it.
The same thing applies to the apparently perplexing and contradictory notion of unity in diversity. How can God be a union of ‘three-in-one’? Well, says Lewis, what appears to be an impossibility in our dimension of being is not necessarily an impossibility in God’s dimension of Being. To use his very helpful analogy, you can’t picture a union of six separate squares in a two dimensional world, but you canpicture a cube in a three dimensional world. So just as a cube is one body made up of six separate squares, so God is one Being made up of three separate persons. Again, this revelation may come as a shock, but it does not seem unreasonable. And this, argues Lewis, is another reason why Christianity has that strange ‘ring of truth’. It gives us information about God which no-one would ever have thought of making up, yet still manages to make some kind of sense. It involves a mystery about God which goes beyond our human understanding but not against it, which is surely what we ought to expect if there is a God.
I must emphasise, at this point, that the Christian concept of the Trinitarian nature of God is not something that Christian theologians simply invented many decades after Jesus’ death and resurrection. It emerged quickly and naturally as Jesus’ first disciples and followers came to understand the logical implications of His life and teachings, and reflected on what He Himself had said about His relationship and union with His ‘Father’. And since love was and is at the heart of that relationship, and explains why God created the universe and gave us the gift of life, it also tells us why His rescue plan for the human race necessitated His arrival in our world as a human being, and His cruel death under Pontius Pilate.

We are Alienated From Our Creator

As Lewis puts it in Mere Christianity, the difficulty we face as fallen human beings, whether we realise it or not, is that we are alienated from our Creator because the moral imperfection we have inherited from our rebellious ancestors – our wrong thoughts and motives, as well as our bad behaviour – inevitably separates us from God. This may seem unjust, extreme, and hard to believe, since we are accustomed to being a mixture of good and bad (‘nobody’s perfect!’ we say), and cannot, in our fallen state, altogether help being imperfect. But the problem is that our Creator God is not only Love, but Goodness and Justice personified, and therefore infinitely ‘holy’ – to use the language of the Bible. This means that He cannot overlook our moral failings and be united to us in love, since His perfect character is repelled by our sinfulness. His justice demands that the human race should bear the full destructive consequences of turning away from Him and flouting His will.
We personally may not have rebelled against God at the dawn of history, but like all human beings since that time, we have been morally and spiritually damaged by the severance of that spiritual umbilical cord between God and Man which used to exist in the Garden of Eden. God’s love and goodness and joy can no longer flow unimpeded through us, because our human nature has been corrupted and we have become broken vessels that cannot retain the water of divine life. That is to look at our situation from God’s point of view. If we examine it from our own human perspective, the problem doesn’t get any easier. In order to be reconciled to God, the debt owed to Him by our wrong-doing must be paid, but we are morally and spiritually bankrupt. Reconciliation with God also requires perfect repentance, but it takes a good person to repent since repentance involves not only eating humble pie and saying sorry to God, but also surrendering our lives to Him. If we want to reconnect with our Creator, we must abandon our self-centredness, but the problem is that the worse we are, and the prouder we are, the harder it is for us to do this.
Given this dilemma, what did God have to do to resolve it? How could He reconcile His justice with His mercy? How could He save the human beings He had created in love from the consequences they had brought upon themselves by the misuse of their free will? How, in other words, could God save us from death and separation from Him in eternity? And let’s be clear what this involves, however upsetting it may be. To be separated from God in eternity, means to be consciously and forever separated from the source of all life, all love, all joy, all truth, and all beauty. That is an indescribably terrible fate, about which Jesus spoke with real horror in the Gospels, but it is what we all risk if we refuse to accept God’s rescue plan for ourselves. So what, then, is God’s rescue plan? How can we be reconnected with our Creator?
According to Lewis, God could only save us by becoming a human being and dying on our behalf, because only in this way could He enable us to go through that process of dying to self without which true repentance and reconnection with Him is impossible. Just as we are enabled to think because God created our minds and nurtures our intelligence, so, argues Lewis, we can now repent of our sins and give ourselves to God, because the capacity to die to self is now part of God’s divine nature in Jesus, and can therefore be communicated to us through our union with Him. Our ability, if we choose, to be reunited with God, was also won for us by Jesus because, as Man, and therefore our representative, His death on the cross paid the debt owed to God’s justice by human sin. Like a judge who imposes a fine on his guilty son and then takes off his judge’s robe and pays that fine himself, so Jesus, God the Son Incarnate, suffered the penalty of sin in our place. But since He was and is divine as well as human, He overcame death and rose from the grave on our behalf, having torn down the barrier separating fallen human beings from their Creator. That is the meaning of the Atonement and the Resurrection.

Evidence for the Truthfulness of the New Testament

Persuaded by Lewis of the reasonableness of the Christian message, I then examined the evidence for the historical truthfulness of the Gospel records in the New Testament. And once again closer scrutiny of the facts forced me to abandon my old prejudices against Christianity. The first thing I noticed was the internal evidence for the truthfulness of the Gospel accounts. Far from being self-serving propaganda, the Gospels faithfully record the weaknesses and failings of Jesus’ disciples, including their frequent inability to understand what He is talking about. Peter, to cite the most famous example, refuses to believe Jesus when He warns him of His impending arrest and execution, and is firmly rebuked for it.
closer scrutiny of the facts forced me to abandon
my old prejudices against Christianity
Later, at the Last Supper, Peter swears he will never abandon Jesus even if all the other disciples do, but then goes on to do precisely that, denying all connection with Him in the courtyard of the High Priest’s house after Jesus’ arrest in the Garden of Gethsemane. The other disciples are revealed in a similarly poor light. On one occasion they are shown quarrelling about who amongst them will occupy the highest positions in Jesus’ Messianic Kingdom. At other times they, like Peter, are shown to be either unwilling or unable to accept Jesus’ teaching that He, the Messiah, must suffer and die “as a ransom for many”. Not surprisingly, they too abandon Jesus at the moment of supreme crisis in the Garden of Gethsemane.
Even more significantly, all the disciples are taken by surprise by the Resurrection, despite having been told in advance by Jesus, before His arrest, that He would come back from the dead. Indeed, this very fact, mirrored in their slowness to accept the testimony of their women and the evidence of their own eyes, offers powerful support both for the truthfulness and reliability of the Gospels as a whole, and for the reality of the Resurrection. And this brings me, finally, to the two most compelling and convincing reasons for believing in the truth of the Christian message and the story on which it is based: the undeniable fact of the Empty Tomb, and the subsequent careers and martyrdoms of Jesus’ closest followers.
As Frank Morison (originally a sceptic) argued long ago in his illuminating book, Who Moved The Stone? none of Jesus’ enemies and opponents of the newborn Christian Church could deny the disappearance of Jesus’ body from the tomb in which He had been buried by Joseph of Arimathea. Despite having every religious and political incentive to do so, neither the Jewish religious authorities who condemned Him, nor the Romans who crucified Him, were able to produce Jesus’ body, and by doing so, give the lie to the preaching of His resurrection by the disciples. If they had done so, Christianity would have been snuffed out instantly. But they didn’t because they couldn’t.
Secondly, only the fact of the Resurrection and the disciples’ encounter with the Risen Jesus can adequately explain the change that took place in them, and their subsequent careers. Having been a frightened, broken-hearted, and demoralised group of men, they emerged from hiding and became a band of joyful and heroic missionaries, boldly and fearlessly proclaiming the Christian gospel, in the teeth of persecution and suffering. What is more, all of them except John eventually suffered painful martyrdom for doing so. Three of them, including Peter, were crucified; two were stoned to death; another two were beheaded; Thomas was killed with arrows in India; Philip was hanged on a pillar in Phrygia; another disciple was beaten to death, and Bartholomew (Nathaniel) was skinned alive in Armenia. Is it likely, if the disciples had stolen Jesus’ body (as their enemies alleged), that they would have endured all this for something they knew to be a lie? Is it, in any case, psychologically credible to believe that these men, emotionally shattered by Jesus’ arrest and crucifixion, would have had the will, motivation, strength, or courage to attempt to snatch away His dead body from under the noses of the soldiers guarding His tomb?
the picture of Jesus the Gospels presented was so vivid and compelling
My former scepticism about the Resurrection was further challenged by the undeniable and highly significant fact that St. Paul, the great ‘Apostle to the Gentiles’, had originally been the fiercest opponent and persecutor of the Early Church. Here was a man who had been passionately convinced that the Christian claims about Jesus were dangerous blasphemy, and that those who believed them deserved imprisonment, beatings and death. Then, suddenly, this same man changed a hundred and eighty degrees and became the greatest and most widely travelled evangelist of the fledgling Christian Church, a transformation, moreover, which began during an anti-Christian heresy-hunting missionary journey! What else, other than his encounter with the Risen Jesus on the road to Damascus, could possibly explain Paul’s dramatic conversion? This conclusion is further reinforced by the telling references in one of Paul’s pastoral letters to the many different witnesses to whom Jesus appeared after His resurrection, most of whom, Paul declared, were still alive at the time he was writing (see 1 Corinthians 15:3–10). Would he have dared to say all this, implicitly challenging sceptics to interrogate these living witnesses, if Jesus had not risen from the dead? And would he, like the other apostles, have endured beatings, imprisonment, stoning by hostile crowds and eventual beheading, for a message he knew to be false?
if God ever did come into our world and live among us as a human being, then surely Jesus was that man
The more I thought about all these points, the more convinced I became that the internal evidence for the reliability of the Gospels and the New Testament as a whole was overwhelming. Apart from any other consideration, the picture of Jesus they presented was so vivid and compelling. In its pages you see Him challenging the powerful, comforting the poor, exposing hypocrites, and healing the sick and the broken-hearted. He treats women as equals and shows tenderness to children. Even more strikingly, when Jesus speaks of His divine status (“He who has seen Me, has seen the Father”), He doesn’t convey any impression of madness or megalomania. Instead, His words seem to carry authority, and His enemies are never able to out-argue or outwit Him. In fact, they do not even deny the reality of His miracles, merely attributing them to sorcery! If God ever did come down into our world and live and walk among us as a human being, I thought, then surely Jesus was that Man.
Finally, the last nail was hammered into the coffin of my former atheism by the realisation that there was very good external evidence for the authenticity and truthfulness of the Gospels. There are first of all significant corroborating references to Jesus’ existence and execution in the writings of Roman historians like Tacitus and Suetonius, as well as in those of the first century historian, Thallus. There is similarly corroborating evidence about some of the details of Jesus’ life and death in other non-Christian sources like the Jewish Talmud. To quote one of these, the first century Jewish historian, Josephus, writing in about AD 93:
At this time [the time of Pilate]there was a wise man who was called Jesus. His conduct was good and (he) was known to be virtuous. And many people from among the Jews and the other nations became his disciples. Pilate condemned him to be crucified and to die. But those who had become his disciples did not abandon his discipleship. They reported that he had appeared to them three days after his crucifixion, and that he was alive; accordingly he was perhaps the Messiah, concerning whom the prophets have recounted wonders.
(Antiquities of the Jews)
In addition to all this, the manuscript evidence for the authenticity and reliability of the Gospel texts is earlier and more plentiful than that for any other document of ancient times. In particular, the historical reliability of Luke’s Gospel and its sequel, the Acts of the Apostles, which is full of explicit political, legal, medical, cultural and topographical details, is confirmed by a lot of archaeological evidence as well as by plentiful documentary evidence from non-Christian sources. According, for instance, to classical scholar and historian, Colin Hemer, in his study, The Book of Acts in the Setting of Hellenistic History, 84 separate facts in the last sixteen chapters of the Acts of the Apostles have been confirmed by archaeological and historical research.
confronted by all these facts and arguments, I surrendered my sword of unbelief to God
So, confronted by all these facts and arguments – philosophical, scientific, and historical – I surrendered my sword of unbelief to God, and asked Jesus to forgive my sins and come into my life during the hot, dry summer of 1976. In the years that have followed, I have never regretted that decision, despite many ups and downs and trials of my faith. Through prayer, worship, and the company of other Christians, I feel I have begun to know Jesus personally and to understand something of the breadth and height and depth of His love for me and for all His creation. If, therefore, my journey from atheism to faith has helped in any way to persuade you of the truth of Christianity, I can only hope and pray that you too will experience the joy of reconnecting with your Creator by asking Jesus to forgive your sins and come into your own life. He longs for you and is only waiting for you to make the first move.
On the other hand, if you are still unconvinced by my testimony but are willing to explore these issues further, I invite you to read I Don’t Have Enough Faith to be an Atheist, by Norman L. Geisler and Frank Turek, (Crossway, USA, 2004). It is a very readable yet scholarly book which sets out, in massive and very interesting detail, the philosophical and scientific evidence for the existence of God, as well as the historical and archaeological evidence for the reliability and truthfulness of the New Testament. Get hold of it and see whether it can resolve your doubts or answer your objections and questions.
© 2011 Philip Vander Elst
For an abbreviated audio version of Philip's testimony (15 minutes), click on the audio button beneath 'Hear a former atheist's story' on this page.

This article is published on bethinking.orgby the kind permission of Philip Vander Elst.

visitors

Flag Counter